Pages

Be Brave

Baru saja menonton film yang diproduksi oleh Pixar dan didistribusikan oleh Disney berjudul "Brave" dimana ini adalah film animasi kedua yang sukses membuat saya tidak tertidur setelah "Up". Ceritanya simpel, hanya perjuangan bagaimana seorang wanita yang sejak kecil 'berbeda' karena tomboi, harus berusaha mengikuti keinginan sang ibu yang ingin menjadikan anaknya sebagai seorang putri sesungguhnya. Masalah muncul ketika ego anak-ibu ini berada di tingkat paling atas dan pertengkaran besar terjadi, dimana si anak, Merida, seperti kebanyakan remaja labil biasanya mengambil keputusan yang akhirnya merusak seluruh sistem keluarganya.



Tidak seperti kebanyakan film animasi, Brave membawa nuasana sedikit gelap sehingga orang-orang dewasa pun tidak merasa jenuh saat melihat film ini. Didukung dengan teknik backsound yang terlihat digarap sungguh-sungguh, Brave seperti membawa nafas baru bagi image Disney yang sudah kental dengan princess dan happily ever after-nya. Seperti formula film "Red Riding Hood" dan "Snow White and The Huntsman" yang terasa begitu gelap untuk ukuran adaptasi dongeng anak-anak. Sedang booming mungkin membuat film dongeng bernuasana gelap (padahal Tim Burton sudah mulai duluan dengan Alice In Wonderland).



Menonton Brave membuat saya mengkaji lagi hubungan dengan orangtua, khususnya ibu. Saya banyak mengeluarkan airmata di scene-scene intim antara Merida dan ibunya. Keberadaan ayahnya yang keturunan Viking pun menambah warna film ini untuk tidak melulu drama. Sebuah perpaduan yang pas untuk cerita animasi, Brenda Chapman. Apalagi dengan ending yang terasa begitu indah, sangat kekeluargaan (walaupun tetap sangat Disney), cerita ini wajib ditonton di Minggu sore bersama keluarga.

Sayang, entah karena bioskop tempat saya menonton jelek (padahal Blitz Megaplex) atau murni karena kualitas video, ada beberapa part awal yang terlihat sangat buram dan bias.



(Ribka Anastasia Setiawan)
2.8 stars from 5 stars.

(Re-Post) Why You Keep Coming Back

Because you’re addicted. Because you know exactly what Edward meant when he called Bella his own “personal brand of heroin” and you’re ashamed to admit you feel that way. Because you’re like a moth to the flame with this person, because you know you’ll get hurt in the end and yet. Because a part of you knows better and another part doesn’t want to; because you’re not ready to all-the-way know better. Because this is a suicide leap but the way they make you feel makes it somehow worth it.
Because they speak your language. Because they understand you even when they don’t. Because on some deep, intrinsic level you just get each other. Because sometimes it seems like they know you better than you know yourself. Because they’ve seen the worst of you and the best; because, regardless of how they hurt you, you still feel an inexplicable trust.

Because you’re afraid. You’re afraid you’ll never be loved like that again; you’re afraid no one else will be in tune with you, your moods, the essence of who you are in this necessary specific way. Because you’re afraid you don’t have the capacity to love anyone like that again; afraid all your love energy is spent, afraid you’re incapable of ever emotionally getting it up for anyone else. Because you’ve never been so vulnerable with anyone else and the thought of even trying makes you feel hopeless and tired.
Because you think this time will be different, think that with all the naiveté of someone proposing marriage to their drug addicted mate hoping that’s the move that will cure them. “This time will be different” — you hear people say that and you roll your eyes so loud you wake up the neighbors but you do exactly the same thing; the same thing over and over and expecting different results. Because you think you can make this work if you try a little harder, if you just push a little more.

Because you believe in it, against your better judgment. Because you think it’s worth it; because you don’t stop to consider the very real possibility that the negatives outweigh the positives. Because you think you owe each other, your history, something still; because you feel inherently bonded and you don’t want to break it. Because you leave logic out of it; because after all, the heart wants what the heart wants and what can you do about that.

Because you live in the past, because you remember who you were once, who they were, and what you had; remember this and want to rewind. Because you think it’s possible to somehow recreate an idealized past in an unsure future. Because you’ve been holding onto the possibility of becoming a whole again for months, for years, safe and protected by the idea that no matter what happens, you’re not alone because of that faint background possibility of us.

Because you think they’ll change, you’ll change, the circumstances will change; things will somehow mysteriously get better. Because you think this time around you’ll appreciate each other because you know what it’s like to be without. Because you have kids together. Because you have a dog together. Because you have amazing memories together. Because you have an “amor vincit omnia” tattoo. Because Hollywood or literature or God made you believe that love is enough. Because you don’t want to think about the possibility of a world in which it isn’t.




Repost this article (or diary?) from this amazing website and am really can't stop reading what they posts. Originally wrote by Mila Jaroniec.

13 Juni 2012

Surat dari seorang wanita yang duduk dipinggir coffee shop, melihat keadaan dari matanya yang tertutup kacamata kehidupan,

Sudah ribuan kali saya berpikir, mencerna, menimbang, dan belajar mengenai apa yang baik dan apa yang buruk dalam hidup. Saya tahu, sering kali sebagai wanita, saya banyak mengambil keputusan yang begitu cepat, tanpa pikir panjang, buru-buru. Namun tidak jarang, saya sering kali terlalu pikir panjang saat mengambil keputusan, sehingga itu jadi keputusan yang bantet.

Namun, keputusan adalah keputusan. Kalau ada orang yang berkata tidak membuat keputusan adalah bagian dari keputusan, dengan cepat saya akan menggelengkan kepala. Tidak membuat keputusan adalah bagian dari sifat pecundang, menurut saya.

Saya lebih baik membuat sebuah keputusan, walau salah, daripada tidak sama sekali. Walau pada akhirnya saya harus menjalani keputusan itu dengan berat hati, setidaknya saya berani memutuskan sesuatu. Sama seperti ketika akhirnya saya membuat keputusan untuk duduk pada sebuah layar laptop dan menuliskan ini.

Jujur mungkin bukan bahasa yang tepat, namun tidak jujur pun bukan kalimat yang berdiri benar.

Saya kali ini abu-abu, ditengah-tengah. Saya berusaha menjalani apa yang dinamakan denial in life, penolakkan dari diri sendiri yang sungguhan membuat saya lelah berdiri.

Anehnya, saya menolak segala hal yang baik yang datang kepada saya. Laki-laki yang baik, pekerjaan yang baik, hanya karena masa lalu yang menghantui dan belum sempat saya selesaikan.



....surat ini bahkan bantet ditengah jalan. Pikiran saya keburu lari ke subjek lain yang membuat segalanya menjadi buntu. Lebih baik saya sudahi, saya lanjutkan kalau akar pikiran saya kembali di tempatnya.

Sebuah Juni Bernama Bahagia

Seharusnya bersama denganmu adalah sebuah kebahagiaan dalam bentuk lain. Nyatanya, hati tidak pernah bisa dibohongi. Bahagia memang begitu sederhana, bahagia adalah soal pola pikir; namun kadang kala bahagia adalah juga soal kamu yang berada di sampingku.

Nyatanya, kamu adalah bentuk paradoks yang begitu kontraks. Bersamamu adalah bahagia ketika kamu juga adalah satu orang yang begitu menyakitkan untuk diingat. Kamu membuat seluruh keadaan tidak dapat menggantikan kebahagiaan yang datang dari dirimu. Dan kamu juga telah membuat seluruh aktifitas tidak bisa lagi dibawa jadi pelarian.

Mungkin aku bisa membohongi orang lain, tersenyum di depan mereka, mengatakan bahwa sejauh ini, semuanya terasa begitu indah. Namun begitu kamu sendiri, kamu tahu kamu salah, kamu tahu bahwa kamu adalah manusia paling munafik yang ada di muka bumi ini.

Kamu adalah seorang pembohong ulung.

Kamu tahu kamu hanyalah seseorang yang berlari dari kenyataan yang tidak ingin kamu singkap.

Namun sekali lagi bahagia adalah pola pikir, bahagia adalah sederhana.


***

Kali ini, melewati malam sendiri yang begitu sederhana, hanya dengan gelap lampu, dengan lagu yang begitu sendu mengalun dari Bon Iver, saya berpikir dan mencerna. Saya mulai merasa kehilangan arah. Saya mulai merasa terbang tanpa tujuan, saya merasa begitu munafik. Saya merasa kehilangan diri saya.

Kepada siapa saya bisa berbicara mengenai benar dan salah ketika ,emisahkan diri saya antara yang asli dan diri saya yang palsu saja sudah sulit sekali, sekarang ini. Saya ditekan keadaan yang saya buat sendiri. Seharusnya saya berhenti sebelum semua semakin racuh. Sebelum seluruh tenaga habis untuk berdiri menjadi diri yang bukan saya.

Namun saya tidak bisa. Kebahagiaan semu ini terasa begitu indah.

Saya tidak tahu kemana saya berlari, atau berjalan, sekarang.

Kenapa kamu bisa menciptakan tawa yang begitu imortal dan saya hanya bisa menciptakan kebahagiaan semu untuk diri saya sendiri? Begitu miris.

Hello, Goodbye!

Selamat atas kelulusannya! Me proud of both of you.