Pages

Kembali Di Titik Semula

Saya tidak menyangka bahwa melepas tanpa berbicara bisa sesulit ini. Saya juga tidak menyangka bahwa menulis ternyata tetap tidak bisa melepaskan seluruh sakit dalam diam yang sudah tercipta bulanan lalu.

Ini sudah menit kelima belas saya menatap layar laptop tanpa bisa menuliskan apapun. Gelas kopi sudah masuk yang kedua dan hanya ada kosong. Kosong yang begitu terasa, dan tanpa saya sadari, keberadaan anak manusia itu menjadi sebuah nilai yang penting dalam kekosongan ini.

Kali ini, saya kembali harus melepas. Kembali ke titik semula dimana ini tidak pernah ada. Ujung dari segala ada yang ada -- juga permulaan bagi sebuah mula yang akan ada. Anehnya saya merasa ....... plain.

Perasaan ini mungkin sudah lelah sedari dulu hanya termakan lelucon-lelucon hidup, sehingga yang keluar hanyalah sebuah rasa tanpa nama yang saya sendiri tidak bisa apresiasikan bentuknya. Saya hanya diam, namun tahu pasti bahwa ada yang salah dari dalam hati dan kepala ini. Tapi apa yang salah? Saya masih belum mampu mengapainya ke dalam kepala.

Melepaskan seharusnya menjadi sebuah perkara kecil untuk saya. Sejak belajar bahwa "when you own something/someone, you eventually will be owned by them", jadi melepaskan bukanlah perkara sulit. Mungkin pada akhirnya, karena itulah saya melakukan kecurangan dengan tidak pernah mau secara serius punya hubungan dari hati ke hati dengan siapapun. Bukan karena saya marah kepada dunia, tetapi karena saya belajar dari masa lalu perihal hal itu, dan ingin agar tidak pernah kesulitan melepaskan seseorang/sesuatu.

Namun kali ini, mendekati waktu melepas yang saya ciptakan sendiri, ada sebuah keraguan serta kumpulan emosi yang tidak mampu dibicarakan. Bahkan menulis bukan lagi solusi, pun dengan menangis. Dua hal yang selama ini saya kira mampu membantu kini malah melempar saya ke titik buntu. Putar arah? Belum saatnya.

Mungkin karena itulah saya sungguhan plain, namun dengan kesadaran penuh menyakini ada sesuatu yang salah dari hati saya. Tetapi lagi-lagi, melepaskan pada akhirnya membuat kita belajar kembali ke diri kita sendiri, bukan? Sesakit apapun hal-hal yang tidak terucapkan pada akhirnya.

Saya memasuki kopi gelas ketiga. Penulis paling buruk dijagat raya. Menulis sependek ini butuh tiga gelas kopi.



Pada akhirnya, saya hanya mengangguk mengerti mengingat sebuah bait lagu yang dinyanyikan oleh Calvin Harris dan Florence Welch. Saya akhirnya mengerti, mengapa kadang kala kita harus melepas tanpa berbicara.




Jakarta, 25 Juni 2013
Starbucks

No comments:

Post a Comment

Leave your comment, critic, or thought about my post here! It makes my day: