Sudah berhari-hari lembaran buku itu tidak bisa diisi oleh apapun. Tidak dengan kalimat, tidak dengan kata-kata atau hanya kata, tidak dengan huruf, tidak dengan hanya sebuah titik.
Mungkin, seluruh kata-kata itu hanya ingin terbang sebatas dinding-dinding imajinasi serta ingatan provosional seorang wanita dengan kemampuan mengingat begitu minim. Mungkin, kata-kata itu belum saatnya keluar dan berkembang menjadi sebuah memori.
Atau, atau mungkin, kata-kata itu hanyalah bentuk lain dari ketakutan penulisnya, murni karena penulis itu menyadari apa yang tidak ingin disadarinya untuk beberapa waktu.
Mungkin, seperti kata Dewi Lestari, penulis itu tidak mampu mengeluarkan seluruh kata-katanya karena takut menjadi sebuah kalimat yang prematur. Walau tidak semua yang lahir dengan prematur berkonotasi negatif. Tapi penulis lebih memilih mengaborsi kata-kata itu.
Mungkin, penulis itu hanya ingin sesekali merasa egois dengan tidak berbagi dengan orang lain apa yang ada di dalam kepalanya, apa yang sesungguhnya berbicara di dalam hatinya, dan hanya ingin dimengerti tanpa kata-kata.
Mungkin, seluruh kata-kata itu hanya ingin terbang sebatas dinding-dinding imajinasi serta ingatan provosional seorang wanita dengan kemampuan mengingat begitu minim. Mungkin, kata-kata itu belum saatnya keluar dan berkembang menjadi sebuah memori.
Atau, atau mungkin, kata-kata itu hanyalah bentuk lain dari ketakutan penulisnya, murni karena penulis itu menyadari apa yang tidak ingin disadarinya untuk beberapa waktu.
Mungkin, seperti kata Dewi Lestari, penulis itu tidak mampu mengeluarkan seluruh kata-katanya karena takut menjadi sebuah kalimat yang prematur. Walau tidak semua yang lahir dengan prematur berkonotasi negatif. Tapi penulis lebih memilih mengaborsi kata-kata itu.
Mungkin, penulis itu hanya ingin sesekali merasa egois dengan tidak berbagi dengan orang lain apa yang ada di dalam kepalanya, apa yang sesungguhnya berbicara di dalam hatinya, dan hanya ingin dimengerti tanpa kata-kata.
Mungkin, penulis itu hanya ingin membuat sekitarnya untuk berhenti mengenal dirinya lalu membuat sebuah momen untuk menebak apa yang sesungguhnya terjadi di dalam kepala penulis itu. Mungkin, seperti sebuah leburan ombak, ia hanya ingin berusaha sesekali berjalan bersama dengan angin; tidak bertendensi dan hanya murni menikmati.
Walau kadang kala, menikmati adalah hal terburuk yang pernah terjadi dalam setiap teoritis hidup manusia. Menikmati adalah bentuk merah dari kepasarahan.
Mungkin.
Semua serba mungkin.
Satu yang pasti, lembaran-lembaran buku itu masih kosong. Tidak berisi dengan apapun. Dan penulis itu hanya bisa tersenyum, berharap ada sebuah dari sebuah yang mampu mengisinya.
No comments:
Post a Comment