Sudah jutaan kali Andara mengulang kalimat itu, memasukkannya jadi kalimat wajib dalam list hariannya. Tidak ada yang tahu mengapa Andara mendadak begitu.... plain. Andara adalah matahari, ia bukan seseorang yang hanya datang dan mengikuti suasana--Andara memeriahkan suasana!
Kamu yakin sama dia? I mean, he is Fabio and every people know about his habbit! Yang ini suara Indah, teman baik Andara.
Cinta emang buta, An, tapi gue tahu lo orang yang cukup logis untuk mematahkan kalimat bodoh itu. Lo masih punya mata, dan gue yakin, lo bisa nggak buta menghadapi cinta lo ini. Ini kalimat Deva, kakak sepupunya.
Semuanya berubah. Andara menjadi kalem dan semua orang bertanya. Andara bahkan ikutan bertanya-tanya pada dirinya sendiri juga.
Sesuatu yang jadi fokusnya mendadak berubah. Bukan lagi mimpi. Bukan lagi impian jadi jurnalis di New York Times. Bukan lagi menjadi atlit lari yang membanggakan nama Indonesia. Semua tentang mimpi seakan sirna.
Ada apa, Andara? Ini yang disebut... blind?!
Andara menggeleng, menjawab pertanyaan yang sebenarnya sudah jadi fokusnya dari beberapa minggu lalu. Andara bahkan kini cenderung memucat, dikarenakan susah tidur. Tiap malam, tidurnya selalu diganggu dengan mimpi buruk.
Puncaknya, sampai suatu pagi yang hujan, Andara tidak bisa terbangun sama sekali dari tempat tidur. Ia mau, tapi badannya seperti melakukan sistem shut down dengan sendirinya. Matanya terbuka, tapi tidak membuka lebar. Badannya tegak di atas tempat tidur, tapi tidak lama jatuh terkulai. Andara merasa tubuhnya aneh. Singkronisasi antara otak dan tindakkan begitu berbeda. Jadilah, seharian itu Andara hanya bisa di kamar sambil menonton MTV, dan kadang-kadang membaca, atau menonton DVD di portable DVD. Momen terberat dari keanehan itu adalah, ketika Andara bisa sesekali mengeluarkan airmata yang tidak deras. Namun keluar, mengalir dari mata, dan disaat bersamaan hatinya sakit. Andara tahu kondisi tubuhnya sudah masuk ke tahap serius.
Kamu yakin sama dia? I mean, he is Fabio and every people know about his habbit! Yang ini suara Indah, teman baik Andara.
Cinta emang buta, An, tapi gue tahu lo orang yang cukup logis untuk mematahkan kalimat bodoh itu. Lo masih punya mata, dan gue yakin, lo bisa nggak buta menghadapi cinta lo ini. Ini kalimat Deva, kakak sepupunya.
Semuanya berubah. Andara menjadi kalem dan semua orang bertanya. Andara bahkan ikutan bertanya-tanya pada dirinya sendiri juga.
Sesuatu yang jadi fokusnya mendadak berubah. Bukan lagi mimpi. Bukan lagi impian jadi jurnalis di New York Times. Bukan lagi menjadi atlit lari yang membanggakan nama Indonesia. Semua tentang mimpi seakan sirna.
Ada apa, Andara? Ini yang disebut... blind?!
Andara menggeleng, menjawab pertanyaan yang sebenarnya sudah jadi fokusnya dari beberapa minggu lalu. Andara bahkan kini cenderung memucat, dikarenakan susah tidur. Tiap malam, tidurnya selalu diganggu dengan mimpi buruk.
Puncaknya, sampai suatu pagi yang hujan, Andara tidak bisa terbangun sama sekali dari tempat tidur. Ia mau, tapi badannya seperti melakukan sistem shut down dengan sendirinya. Matanya terbuka, tapi tidak membuka lebar. Badannya tegak di atas tempat tidur, tapi tidak lama jatuh terkulai. Andara merasa tubuhnya aneh. Singkronisasi antara otak dan tindakkan begitu berbeda. Jadilah, seharian itu Andara hanya bisa di kamar sambil menonton MTV, dan kadang-kadang membaca, atau menonton DVD di portable DVD. Momen terberat dari keanehan itu adalah, ketika Andara bisa sesekali mengeluarkan airmata yang tidak deras. Namun keluar, mengalir dari mata, dan disaat bersamaan hatinya sakit. Andara tahu kondisi tubuhnya sudah masuk ke tahap serius.
Love is like marry-go-around. You and your lover live in the round of life. Period.
He loves me... He loves me... not?!
He loves me... He loves me... not?!
***
Seminggu kemudian...
Seseorang yang tidak diduga mendatangi Andara. Di rumah. Di kamarnya. Saat The King's Speech sedang ia putar. Sudah seminggu tepat tubuhnya begitu lemah dan hanya bisa terkulai di tempat tidur.
"Fabio?!"
"Hei," Fabio menyapa dengan suara dalam. Ada sedikit urgensi dari nada itu. Urgensi yang Andara tahu berhubungan dengan semua ini.
"Aku sayang kamu. Aku cinta kamu. Aku....." Fabio menarik nafas, kebingungan mendeskripsikan. "Aku nggak tahu apa namanya. Intinya, aku emang sayang sama kamu. Cinta sekali! Nggak perlu kamu berpikir soal 'he loves me, he loves me not' lagi, karena kenyataannya aku emang cinta banget sama kamu--"
Andara hanya bisa tersenyum lemah, masih tergolek di kasurnya, "tapi....?" Ujarnya memotong.
Fabio tertunduk malu di tembak seperti itu. Ia tahu bahwa Andara tahu kemana arah pembicaraannya, "tapi aku nggak bisa kalau harus pacaran. Prospek hubungan kita nggak jelas. Kalau pun pacaran, kita tetap tidak akan bisa jadi suami-istri ke depannya. Aku tahu ini memang pikiran yang jauh, tapi memang begitu kenyatannya."
Skor mendadak jadi 1-1 karena Andara yang gantian kikuk, bingung. Memang love is blind, but married is a real-opener, tapi memang pembicaraan Fabio sudah terlalu jauh.
"Maksud kamu?" Pertanyaan klise itu keluar dari mulut Andara. Ia kini benar-benar tidak mengerti maksud dan tujuan Fabio, laki-laki yang sudah sukses membuatnya gamang selama beberapa minggu belakangan. Bahkan sukses membuat tubuhnya ter-shut down begini, saking banyaknya pikiran mengawang-awang di otaknya.
"Aku positif HIV, bekas menjadi pecandu waktu dulu. Aku nggak mau--dan nggak bisa--nularin penyakit ini sama kamu, sesayang apapun aku."
Sedetik sesudahnya, Andara hanya menatap kaku ke layar portable DVD.
Perkataan Deva mengudara di imaji Andara: Gue tahu lo orang yang cukup logis untuk mematahkan kalimat bodoh itu. Lo masih punya mata, dan gue yakin, lo bisa nggak buta menghadapi cinta lo ini.
Andara lalu punya pertanyaan: apa yang dikatakan tindakan logis saat kenyataan datang begitu cepat, tanpa sempat membuat Andara mempersiapkan diri terlebih dahulu? Andara menggeleng. Tidak tahu.
No comments:
Post a Comment