Surat dari seorang wanita yang duduk dipinggir coffee shop, melihat keadaan dari matanya yang tertutup kacamata kehidupan,
Namun, keputusan adalah keputusan. Kalau ada orang yang berkata tidak membuat keputusan adalah bagian dari keputusan, dengan cepat saya akan menggelengkan kepala. Tidak membuat keputusan adalah bagian dari sifat pecundang, menurut saya.
Saya lebih baik membuat sebuah keputusan, walau salah, daripada tidak sama sekali. Walau pada akhirnya saya harus menjalani keputusan itu dengan berat hati, setidaknya saya berani memutuskan sesuatu. Sama seperti ketika akhirnya saya membuat keputusan untuk duduk pada sebuah layar laptop dan menuliskan ini.
Jujur mungkin bukan bahasa yang tepat, namun tidak jujur pun bukan kalimat yang berdiri benar.
Jujur mungkin bukan bahasa yang tepat, namun tidak jujur pun bukan kalimat yang berdiri benar.
Saya kali ini abu-abu, ditengah-tengah. Saya berusaha menjalani apa yang dinamakan denial in life, penolakkan dari diri sendiri yang sungguhan membuat saya lelah berdiri.
Anehnya, saya menolak segala hal yang baik yang datang kepada saya. Laki-laki yang baik, pekerjaan yang baik, hanya karena masa lalu yang menghantui dan belum sempat saya selesaikan.
Anehnya, saya menolak segala hal yang baik yang datang kepada saya. Laki-laki yang baik, pekerjaan yang baik, hanya karena masa lalu yang menghantui dan belum sempat saya selesaikan.
....surat ini bahkan bantet ditengah jalan. Pikiran saya keburu lari ke subjek lain yang membuat segalanya menjadi buntu. Lebih baik saya sudahi, saya lanjutkan kalau akar pikiran saya kembali di tempatnya.
No comments:
Post a Comment