Pindah

Saya pindah rumah. Ada beberapa cerita yang saya posting ulang disana. Jadi silakan berkunjung. Semoga semakin nyaman.

www.ribka-anastasia.com

Untuk Anda: Si Penyuka Steve Jobs

Photo Source Here



Kepada laki-laki pecinta Steve Jobs,

Tanpa terasa, sudah hampir setengah tahun kita berbicara mengenai kisah dalam bahasa lain; bukan bahasamu dan bahasaku. Tanpa disadari, kamu membuat sebuah warna nyata tentang rasa yang tidak pernah kubayangkan. Terlalu dini menyebutkan cinta, jadi biarkan ia bernama rasa.

Setengah tahun, dengan segala macam pertengkaran, ketidakcocokan, perbedaan budaya, namun menariknya, kita masih bisa tetap berada di sini. Sebuah anugerah yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, dan selalu kusyukuri momennya sampai saat ini.

Walau ada sebuah batu yang akhirnya mengganjal diriku, membawaku pada sebuah kenyataan bahwa laki-laki memang mahluk paling sukar dipercaya, aku sesungguhnya memaknai dengan sungguh apa yang kita jalani saat ini.

Setangkai mawar putih, mata yang begitu banyak bicara, kulit semi-tan yang selalu merasa kepanasan, rambut yang tidak pernah disisir, bibir yang selalu bicara soal belajar..... pernahkan terpikir bahwa kita akan bertemu melewati batasan khatulistiwa yang begitu panjang? Berbicara dengan perbedaan waktu 4 jam lebih lambat dariku? Bertengkar hanya karena waktu yang kadang kala tidak sesuai dan merasa tidak mau ada yang berkorban?

Semua kompleksitas yang begitu menyenangkan. Kadang kala.

Tahukah kamu, bahwa kamu membawa sebuah nafas baru dalam diriku? Membawa semua keindahan yang bernama cinta lewat sebuah substansial baru yang belum pernah kurasakan? Seluruh jatah waktu berbicara lewat sebuah medium bernama Skype adalah sebuah waktu yang kutunggu, dan kamu adalah objek yang membuatku merasa ingin terus merangkul Skype dengan waktu yang begitu lama.

Aku tidak tahu kemana sebenarnya aku akan membawa ini semua. Kita, membawa ini semua. Dengan dirimu yang akan pergi ke New York, mengambil Master Degree dan aku yang tidak akan kemana-mana selain disini. Berbagi mimpi adalah sebuah keinginan yang selama ini kita berdua selalu simpan. Kamu dengan mimpi menjadi seperti Steve Jobs dan aku dengan mimpi ingin menjadi jurnalis New York Times. Sesungguhnya, berbagi mimpi denganmu adalah hal terindah dan menceritakan seluruh mimpi-mimpi yang kupunya adalah kebahagiaan tersendiri.

Aku tidak pernah membayangkan akan menemukan dirimu dalam keadaan mata dengan mata, kepala dengan kepala. Tidak pernah terbayangkan di dalam diriku. Atau ketika kamu mengatakan bahwa kamu menyukai pembicaraan antar kita berdua, aku tidak pernah membayangkan kamu akan menjadi nyata.

Karena sesungguhnya, mungkin sesungguhnya, kamu lebih baik menjadi sebuah statue di balik dunia maya. Berdiri, tertawa, mencium, berbagi, melakukan segala sesuatu hanya melalui kamera dan medium Skype.

Mungkin lebih baik begitu saja sudah menjadi cukup.


Terinspirasi dari salah satu postingan ThoughtCatalog bagian ini.

Kita Tidak Pernah Bisa Mencinta Kata Selamanya



Sebuah cerita cinta platonis antara Celeste (Rashida Jones) dan Jesse (Andy Samberg), dua orang sahabat yang menikah, bercerai, namun pada kesehariannya tetap melakukan aktivitas bersama selayaknya sepasang suami-istri. Cerita cinta yang menarik, namun sayangnya kurang berkembang dari segi emosional karena berusaha berfokus kepada aksi dan bukan dialog.
Do you wanna be right or wanna be happy? Sometimes the end is just the beginning.
Sebuah kisah dengan setting moderen-urban menjadi latar menarik antara Celeste dan Jesse, sekaligus memberi warna kepada main story bagaimana keduanya berusaha melupakan satu sama lain yang mencintai karena keterbiasaan bersama selama hampir delapan tahun.

Celeste yang memiliki sebuah marketing company bersama sahabatnya yang seorang gay (Elijah Wood) memang lebih mapan daripada Jesse, seorang freelance ilustrator yang menyukai surfing. Celeste mencintai Jesse, namun tidak bisa membayangkan bahwa calon ayah dari anak-anaknya masih belum semapan dirinya. Jesse mencintai Celeste, namun selayaknya laki-laki yang bersahabat sedari sekolah, masih ada sisi kekanak-kanakan Jesse yang melekat seiring ia terus menerus berjalan bersama Celeste.

Masalah muncul ketika salah satu diantara mereka mulai ingin keluar dari zona nyaman dan memulai sesuatu yang baru -- tanpa satu sama lain. Berpisah rumah, menanda tangani surat cerai, sampai berusaha 'berdiri' dengan sepasang kaki milik pribadi.

Sayangnya, dengan plot dan summary cerita yang simpel namun bermakna, film yang seharusnya dipenuhi adegan heart-to-heart antara Celeste dan Jesse terasa kurang chemistry. Saya bahkan beberapa kali melewatkan dialog-dialog yang cukup bagus karena setting dan keadaan dibuat tidak mendukung alias sambil lalu.

Sepanjang film saya hanya berbisik 'sayang sekali', karena sebenarnya banyak bagian-bagian yang bisa dikembangkan menjadi lebih baik. Saya percaya, ide cerita dan kesederhanaan film '"Celeste dan Jesse Forever" harusnya bisa menjadi the new "(500) Days Of Summer" kalau mau digarap lebih mendalam.

Untungnya pada penutupan film ini, tepatnya adegan wedding speech, Celeste berhasil memberi sedikit rasa dan chemistry sehingga menjadikan film ini cukup naik peringkat.



Tonton Cuplikannya:

Penghormatan Kepada Soe

Photo Source Here


Saya mau kabur, kabur yang jauh sampai orang lain tidak menemukan saya di sisi jalan kota Jakarta, Bandung, Medan, Palembang, Manado; di manapun. Saya mau berdiri pada kaki saya sendiri, tidak mau menanggalkan idealisme yang sudah dipupuk sedari masih di bangku sekolah.

Saya mau seperti Jakarta, berubah namun tidak berubah.

Jangan ambil idealisme saya, cukup ambil hidup saya dengan membiarkan kegelapan mendatangi dalam bentuk keterasingan. Jangan ambil idealisme saya, cukup ambil jiwa saya dengan membiarkan kerapuhan mendatangi dalam bentuk hilangnya cinta dan Ira. Jangan ambil idealisme saya, cukup ambil hidup saya dengan membiarkan Mahameru menyebarkan gas racunnya.

Saya kadang kangen Herman, Ira, Marni, atau Idhan. Saya tidak kangen fisik mereka, saya kangen dengan apa yang ada di dalam kepala mereka; dengan apa yang bisa mereka ketika semua orang mendakwa apa yang saya lakukan. Saya berani, namun tidak cukup berani, nyatanya.

Saya sakit karena nyatanya, duapuluhenam tahun hidup, saya tetap tidak bisa membagi hati dan perasaan dan jiwa dan cinta pada seseorang. Harusnya mungkin, saya babat habis saja si Santi waktu itu, biar saya pernah merasakan barang sekali tubuh wanita. Namun saya tidak pernah menyesal atas pilihan itu.

Jangan tanya soal benar atau salah, itu hanya soal waktu dan persepsi keseimbangan otak kanan dan kiri manusia. Saya dikandung selama sembilan bulan oleh Mama, namun rasa-rasanya saya jarang berbincang dengan beliau. Saya bagi segala macam tetek bengek pikiran, kegelisahan, semangat, rasa, dan banyak hal lagi dengan mesik tik, dimeja panjang sana, berbagi darah dengan nyamuk-nyamuk malam.

Saya memang berani, tapi saya juga bisa lelah.

Saya mau seperti Jakarta, berubah namun tidak berubah. Saya hanya ingin berbagi semangat, namun mungkin mulut ini terlalu pedas mengkritik, namun bagaimana? Mungkin saya butuh berjuta-juta Tolsoy untuk mengerti bagaimana otak kanan dan kiri saya bekerja. Atau saya butuh bermilyar-milyar buku yang bisa berbicara agar mereka dapat mengerti darimana otak saya bersumber.

Hanya mimpi. Baik belum tentu benar, namun benar sudah pasti baik. Jadi saya belum tentu benar, Ira? Saya hanya mau berbagi dengan apa yang seharusnya dibagi. Mahameru yang terakhir bisa saya bagi, mungkin. Jaga diri saya, jaga hati saya, jaga jiwa saya. Jangan biarkan kemunafikan menjabar dan mencocokcocok hati ini. Jangan biarkan saya kalah dengan mulut sendiri.




05:10 WIB
Tribute to Soe Hok Gie
You'll be missed. Always.

Sebuah Cerita Mengenai Pulang

Photo Source Here









Sembari mendengarkan lagu Pulang dari Dewi Lestari, memandang malam yang entah mengapa selalu melankolis dan berhasil membawa kenangan di memori kepala paling dalam.

Saya bertanya-tanya; kepada diri sendiri, seharusnya, karena tidak ada siapa-siapa lagi disebelah saya.
Seberapa habis lamanya dunia ini berputar? Kemana sebenarnya jiwa dan hati kita berpulang? Kemana sebenarnya setiap jalan berujung? Mengapa seringkali kebahagiaan datang di waktu yang begitu cepat dan menguap bersamaan dengan nafas yang menghembus per detik?
Pertanyaan-pertanyaan retoris lain kerap kali terlontar dari dalam pikiran saya. Pertanyaan yang tidak berhenti mendetak batok kepala, bahkan tidak jarang mampu mengambil oksigen yang seharusnya melegakan suasana. Anehnya, seurgen apapun pertanyaannya, saya tidak bisa menemukan siapa manusia yang mampu menjawab semua pertanyaan itu.

Bukan perkara jawaban yang ada itu benar, tetapi sesimpel keinginan untuk dijawab dan diajak berdiskusi. N. Riantiarno dalam buku Cermin Cinta, menuliskan babak Teater Asylum dalam satu kalimat pendek yang begitu mengena: "Aku merasa dunia sudah jadi rumah sakit jiwa. Aku berada di dalamnya, tapi aku tak pernah tahu apakah aku dokter atau pasiennya."

Saya lagi-lagi kembali bertanya: Apakah saya dokter? Apakah saya pasien?

Dan lagi-lagi, seakan keadaan untuk pertama kalinya menjadi sangat stagnan, hanya lagu Pulang yang terdengar dan tidak ada yang lain. Semesta sepi. Saya bahkan tidak bisa berdiskusi mengenai pertanyaan simpel: Siapa saya? Dokter? Pasien?

Saya tidak tahu siapa yang menulis, antara Scott Neustadter atau Michael H. Weber: "People don't realised this, but loneliness.... it's underrated."

Saya rasa ingin bubuhkan tanda tangan cinta pada mereka. Betul kesepian itu kadangkala diremehkan, padahal mungkin, akar dari segala sedih ada rasa sepi yang tak kunjung terjawab.





Starbucks Citraland
2010