Natal di Sebuah Coffee Shop Favorit

Di sebuah coffee shop favorit, kami berbagi cerita. Dari ketidaktahuan menjadi rasa tahu yang begitu tajam diterjemahkan lewat kata-kata atau gerak tubuh. Penolakan demi penolakan yang berujung pada penerimaan. Ini cerita Natal di sebuah coffee shop favorit.

Saya mengenal banyak orang dalam proses perjalanan dua puluh satu tahun hidup. Ada yang menyenangkan, ada yang menyedihkan, ada yang membuat hati ini terasa begitu perih; dimana seluruh kehadiran elemen mahluk hidup bernama manusia ini saya syukuri keberadaannya.

Namun, untuk penutup tahun yang begitu menyenangkan, saya kembali ditegur oleh seorang sahabat lama, berbatas dengan Americano dan Frappucino milikinya. Kami memang berbagi banyak hal di hari yang kebetulan juga adalah Natal; dengan buku "Life Traveler" karya Windy Ariestanty dan dengan Majalah Asri terbaru.

Pembicaraan itu terhenti di sebuah titik yang tidak menyenangkan bagi saya. Tidak menyenangkan karena saya tidak mampu mendeskripsikan apa yang ada di dalam hati saya dan hanya digantikan dengan mata yang berair menahan segala kata yang tertahan di pikiran.

"Kamu sesungguhnya sama saja dengan mereka yang berlaga baik-baik saja, padahal di dalam kamu itu sudah perlu dibetulin," ujarnya sambil menunjuk bagian tubuh yang (katanya) tempat hati dan perasaan berkumpul.

Saya diam. Air mata ini mengambang di pelupuk. Saya tidak mau mengeluarkannya, apalagi meningat saya ada di tempat umum. Saya malu. Saya aduk-aduk Americano yang sesungguhnya sudah tidak perlu diaduk-aduk, saya mencari cara supaya tangan ini beraktifitas dan mata ini menunduk ke bawah.

"It's okay to be not okay.... Kamu yang ngajarin ini ke banyak orang kan? Meanwhile you are not okay but you act, you trying so hard, to be okay."

Pembicaraan ini terpicu karena teman baik ini miris melihat saya dan salah satu prinsip hidup mengenai "manusia ada dan bersama hanya untuk saling menyakiti, pada akhirnya" dimana menurut saya ini benar dan menurut dia ini terlalu antagonis.

Seluruh pembicaraan terputar dan saya sampai di bagian buntu dan hanya jadi pendengar. Americano sudah habis, begitu pun dengan Frappucino miliknya. Kami akhirnya diam dimakan kata-kata yang sudah mentok dikeluarkan. Lebih tepatnya, dia yang diam, karena saya sudah diam dari awal pembicaraan ini dibicarakan.

Satu kata keluar dari mulut saya, "I never expect my Christmas gonna be that hard. I know you are right, I just don't want to admit it and think how broken I am. It's gonna cost me so much time and I don't want to spend the rest of 2012 to think about it."

Ia terdiam. Pun dengan saya.

"You need to recovery yourself. Soon," ujarnya.

Saya mengangguk, lalu diam. Pun dengan dia.

Tidak lama kemudian, mungkin lelah dengan jeda hening diantara kami berdua, dia berdiri. Saya bertanya mau kemana dan ia menjawab mau memesan kopi lagi. Saya ikutan memesan Americano kembali, kini dengan tambahan scone. Kami butuh asupan makanan. Otak ini sudah dibawa berputar-putar saat Santa Claus berputar memberikan hadiah.

Setidaknya, kami berbagi di hari Natal, dari hati ke hati. Dan kepercayaan bodoh saya berkata bahwa ia mengerti maksud dari seluruh airmata dan gerakan absurd yang saya keluarkan karena tidak bisa berkata-kata lewat bibir.

Kepercayaan bodoh yang mengatakan, walau tanpa kata-kata, ia mengerti.

No comments: