Jakarta 1.20 AM - Ubud 2.20 AM

Tengah malam ini saya tersadar hidup yang saya jalani hanya berputar di hal yang "itu-itu saja." Rutinitas menjadi sebuah kata yang menyerang setiap harinya, mengembang, dan membuat epidermi kata rutin menjadi semakin terasa sangat nyata.

Terkadang, saya ingin sekali bisa merasakan ketenangan seperti di Ubud ketika sedang berada di Jakarta. Tidak ada bangunan tinggi, tidak ada bunyi klakson mobil yang merasa "paling" sehingga akhirnya tidak sabar dan saling tikung, tidak ada rasa negatif, tidak ada momen dikejar waktu dan hanya dikejar sunrise dan sunset, tidak ada sinetron tapi radio nasional.

Sehari di Ubud, saya merasa begitu banyak mengenal diri saya sendiri. Di Jakarta, 21 tahun saya masih sering bertanya (sampai saat ini) mengapa sebenarnya kita harus bertahan pada norma-norma "kebenaran" yang sudah disepakati sejak awal tanpa persetujuan dari kita, orang yang menjalaninya? Setidaknya di Ubud, saya sempat mengenal diri saya, walau hanya sejenak. Tidak ada rasa pesimis yang terus menyerang dengan intens semenjak kembali ke Jakarta. Tidak ada rasa ketidakpercayaan yang selalu muncul ketika melihat orang baik.

Pukul satu dini hari.... saya merasa begitu rindu. Saya merasa memiliki rindu yang tidak terbendung. Bukan dengan siapa-siapa. Hanya rasa kangen dengan kesendirian yang benar-benar sendiri tanpa perlu merasa kesepian. Saya selalu menangis setiap kali merasa sendiri dan sepi. Tidak ada masalah sebenarnya dengan kesendirian, namun sepi adalah sebuah momok. Ia tidak boleh menginjak ulu hati saya atau rasa sakit yang masa lalu yang melekat akan kembali terasa.

Rutinitas. Bahkan melupakan rasa sakit saja membutuhkan rutinitas tahunan sebelum kita akhirnya menyerah pada ketidakberdayaan dan akhirnya merelakan, lalu melepaskan yang benar-benar lepas dan lega.

Jakarta terlalu ...... ramai. Dan saya benci keramaian, tapi saya tidak ingin kesepian. Aneh memang. Tapi begitulah keadaan sesungguhnya.

Saya merasa 'kosong' berbicara dengan orang Jakarta. Bukan soal logika atau kemampuan berpikir, tapi perihal ketulusan. Sedikit orang yang "benar-benar ada" untuk kita ketika sedang berbicara. Benar-benar "membantu berdiri" ketika kita terjatuh duduk.

Mengapa terasa begitu sulit percaya dengan orang lain? Bahkan belajar mencintai saja sulit. Mencintai segala yang baru: lingkungan, pelajaran, rutinitas, pekerjaan. Mungkin ini saatnya belajar keras. Atau mungkin ini saatnya kembali memejamkan mata, lalu tertidur, berharap begitu terbangun saya sudah memiliki rutinitas berbeda.

Ya, ya, saya tahu itu tidak mungkin. Baiklah.


Selamat pagi, Ubud...

No comments: